ibu dan anak
baju wanita

Gajah Raksasa Dari Blora Yang Mendunia

Gajah Raksasa dari Blora,Jawa Tengah

gajah raksasa
Tim preparasi fosil gajah Blora menunjukkan bagian kepala dan gading gajah yang telah dipreparasi. Foto: Deni Sugandi.
Penemuan fosil gajah Blora sungguh luar biasa. Fosil ini mempunyai arti yang sangat penting untuk dapat menjawab berbagai permasalahan tentang keberadaan dan evolusi gajah di Indonesia. Bahkan memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam studi evolusi, termasuk teka-teki the missing link, interaksi antara manusia purba, Homo erectus dan fauna serta berbagai aspek lingkungan secara keseluruhan
Keluarga gajah (Proboscidae) yang pertama dikenal adalah Phiomia. Jenis ini ditemukan dalam endapan sedimen Oligosen, sekitar 35 juta tahun lalu di lembah Nil, Payum, Mesir. Selanjutnya keluarga gajah ini mengalami evolusi pada kala Miosen-Pliosen dan menyebar hampir ke seluruh permukaan bumi kecuali ke daerah kutub dan benua Australia. Namun, saat Plestosen Akhir, jenis gajah tersebut mengalami kepunahan dan kini hanya ada dua jenis gajah yang bertahan
hidup, yaitu Loxodonta di Afrika dan Elephas di Asia.
Dalam perkembangan evolusi dan penyebarannya, paling tidak ada tiga jenis gajah yang mencapai dan hidup berkembang di Kepulauan Nusantara. Van der Maarel (1932) dan Van den Bergh (1999) menyebutkan ketiganya adalah Mastodon, Stegodon, dan Elephas. Hal ini bisa diketahui dari temuan sisa kehidupan yang berupa fosil dalam endapan sedimen Plio-Plestosen di berbagai tempat. Keluarga gajah yang berimigrasi paling awal ke Daratan Sunda (Pulau Jawa) menurut Sondaar, (1984), de Vos ( 1985), dan Aziz (1998) ialah Mastodon Sinomastodon bumiajuensis), yang tiba bersama kelompok fauna Satir sekitar 1,5 juta tahun lalu atau bahkan mungkin lebih awal lagi.
Kemudian disusul Stegodon trigonocephalus yang datang bersama kelompok fauna Ci Saat- Trinil HK sekitar 1,2 juta tahun lalu. Berikutnya datang Elephas hysudrindicus bersama kelompok fauna Kedungbrubus-Ngandong sekitar 800 ribu-200 ribu tahun lalu. Yang terakhir datang adalah Elephas maximus bersama kelompok fauna Punung-Wajak sekitar 125 ribu tahun lalu. Kini, gajah Sumatra (Elephas maximus sumatraensis) merupakan satusatunya spesies gajah yang masih mampu bertahan hidup, meskipun dalam tekanan ekologi yang sangat berat.
gajah raksasa
   Tim riset vertebrata geologi tengah mengekskavasi fosil gajah Blora. Foto: koleksi tim riset vertebrata Badan Geologi.
Sejauh ini spesimen fosil gajah yang ditemukan di Indonesia tidaklah lengkap, umumnya hanya berupa tengkorak, gading, gigi-geligi (geraham) dan tulang–belulang bagian kerangka yang tidak utuh. Sehingga menjadi kendala utama dalam rekonstruksi bentuknya. Hal ini berdampak pula dalam mempelajari seluk beluk habitat dan hubungan kekerabatan (pylogenetic relationship) antarspesies. 
                                                                            Di Indonesia, penemuan fosil gajah berkaitan dengan penelitian fosil vertebrata. Misalnya, sejak pertengahan 1931, geologiwan dari Jawatan Geologi Hindia Belanda C. ter Haar menemukan fosil vertebrata dalan endapan teras Bengawan Solo di Desa Ngandong. Temuan ini diikuti ekskavasi antara 1931-1933. Oleh Von Koenigswald (1934) dan Sondaar (1984), sebagian koleksi fosil vertebrata dari Ngandong dijadikan sebagai unit fauna (Fauna Ngandong) dalam biostratigrafi fosil vertebrata Jawa. Meskipun demikian masih banyak teka-teki seputar Fauna Ngandong ini yang menyangkut habitat, kepurbaan dan lingkungan hidupnya serta interaksinya dengan Manusia Purba di daerah Ngandong (Solo Man).
Dalam rangka menjawab teka-teki seputar kehidupan Solo Man, Badan Geologi menjalin kerja sama dengan dengan University of New England dan University of Wollongong. Penjajakan kerja sama penelitian antara Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, dengan kedua universitas dari Australia itu dimulai dengan pembicaraan awal antara Fachroel Aziz (Badan Geologi) dengan Mike Morwood (University of New England) mengenai evolusi dan pola penyebaran “Manusia Purba” di Kawasan Wallacea dan hubungannya dengan keberadaan awal hunian manusia di Australia. Setelah itu, diskusi tersebut ditindaklanjuti dengan penelitian awal di daerah Cekungan Soa, Flores, Nusa Tenggara Timur pada awal 1996.
Berdasarkan hasil penelitian ini, disusunlah kerangka proyek penelitian bersama bertajuk Archaeology and palaeontology of the Ola Bula Formation, Central Flores, Indonesia (1998-2001) dengan sponsor utama Australian Research Council (ARC). Setelah itu, kerja sama ini dilanjutkan dengan proyek penelitian
Astride the Wallace Line (2003-2006; 2007-2009). Pada 6 April 2009, Badan Geologi yang diwakili Kepala Badan Geologi R. Sukhyar menandatangani nota kesepahaman dengan University of Wollongong untuk kerja sama penelitian antara 2009-2012. Daerah penelitian diperluas, hingga mencakup Sulawesi (Cekungan Wallanae) dan Jawa (Teras Bengawan Solo).
Penelitian Teras Bengawan Solo, khususnya di daerah Blora dimulai sejak 2004. Tahun 2006, ditemukan endapan teras Bengawan Solo yang tersingkap baik di bekas galian pasir di Dusun Sunggun, Desa Mendalem, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang menunjukkan adanya fosil vertebrata.
Selanjutnya dalam penelitian Maret-Mei 2009, Tim Riset Vertebrata Badan Geologi yang dipimpin Fachroel Aziz, melakukan penggalian uji (test pit) di lokasi fosil vertebrata di Dusun Sunggun. Saat itu tim menemukan fosil gajah dalam endapan teras Bengawan Solo (Teras Menden). Penemuannya diawali tersingkapnya gading gajah akibat longsornya tebing bekas galian pasir pada 24 Maret 2009. Dua hari kemudian tersingkap kembali geligi relatif utuh dan masih menempel pada rahang atas, sehingga dapat dipastikan ada fosil tengkorak yang terpendam di lokasi tersebut. Penggalian kemudian dilakukan sejak 28 Maret 2009 pada endapan teras sungai setebal lebih dari 4 m tersebut, yang berjarak sekitar 2 km dari aliran Bengawan Solo.
Dalam dua tahap penggalian itu berhasil ditemukan dan diangkat 85% dari seluruh fosil bagian tulang belulang seekor gajah purba. Rinciannya: Penggalian tahap I berhasil mendapatkan tengkorak dengan rahang atas dan gigi yang masih utuh, berikut bagian tulang seperti tulang belikat, tulang lengan, tulang hasta, tulang pinggul, tulang paha, tulang kering, serta beberapa tulang rusuk dan ruas tulang belakang; dan Penggalian tahap II, tim menemukan tulang rahang bawah lengkap dengan giginya, tulang belikat, tulang pinggul, tulang paha, tulang kering, beberapa tulang rusuk dan ruas tulang belakang.
Spesimen yang diekskavasi mengunakan alat baku seperti linggis, palu, sekop, dan lain sebagainnya dan peralatan khusus (detal equipment dan air kid boring dengan bantuan kompresor udara), itu kini sudah berhasil diangkat dan sedang dalam taraf preparasi di Laboratorium Fosil Vertebrata, Museum Geologi. Bahkan sebagian di antaranya pernah ditampilkan dalam pameran khusus (special exhibition) untuk umum. Pameran ini digelar Pusat Survei Geologi selama Oktober Nopember 2009 di Aula Museum Geologi, Bandung.
Sejak Juni 2010, Tim Vertebrata Badan Geologi mulai melakukan preparasi fosil gajah dari Blora. Mula-mula, tim melakukan pencucian dan pembersihan semua spesimen dan setiap spesimen harus diberi kode khusus. Setelah spesimen dibersihkan, tim melakukan identifikasi, yang meliputi identifikasi anatomi, kondisi spesimen (rusak atau utuh), pengukuran detail dan sebagainya. Bersamaan dengan identifikasi, tim telah melakukan pencatatan data dan pengambilan foto spesimen fosil. Data yang diperoleh disimpan dalam komputer (database tersendiri).
Antara 2011-2012, tim melakukan preparasi fosil, yaitu pembuatan model beberapa bagian yang hilang maupun yang tidak utuh berupa humerus, femur, scapula, rusuk, gading. Pemodelan dalam rangka preparasi di sini merupakan pembuatan bentukan bagian-bagian tulang yang banyak mengalami kerusakan maupun hilang. Pemodelan itu dibuat dari bahan casting gipsum plaster menjadi bentuk utuh seperti rangkaian gajah Waykambas sebagai pembanding bentuk utuh dari tulang asli sesuai dengan bentuk aslinya.
Selain itu, tim pun melakukan preparasi dengan pewarnaan awal. Pewarnaan hasil pemodelan dengan casting gipsum dengan cat minyak. Pewarnaan bagian fosil hasil pemodelan tersebut dilakukan dengan pewarnaan yang dibedakan dengan warna fosil aslinya sehingga dapat dibedakan bentuk tiruannya.
Memasuki tahun 2013, Tim Vertebrata Badan Geologi melakukan preparasi akhir, pemodelan fosil rusak atau yang hilang, pewarnaan, preparasi tengkorak gajah, pembuatan mold atau negatif cetak, dan pembuatan replika. Pemodelan fosil rusak atau hilang tetap ada karena berdasarkan data fosil gajah Blora, dua buah ulna, tiga buah tulang-tulang jari (metapodial/metatarsal), sebuah radius, dan beberapa tulang rusuk belum ditemukan.
Apabila sudah selesai direkonstruksi, diperkirakan gajah ini mencapai tinggi 3,75 m yang berarti jauh lebih besar dibanding ukuran gajah Asia (Elephas maximus) yang masih hidup pada saat ini. Berdasarkan struktur dan lempengan giginya, gajah ini dapat dipastikan genus-nya adalah Elephas. Sedangkan spesiesnya diduga termasuk jenis hysudrindicus, tetapi lebih primitif. Kepastian mengenai spesies dan umur kepurbaan gajah ini masih menunggu hasil penelitian lebih lanjut. Untuk sementara, fosil gajah ini digolongkan ke dalam fauna Ngandong yang berumur Plistosen Tengah - Akhir, yaitu sekitar 800.000-200.000 tahun yang lalu.
Penemuan fosil gajah Blora ini sungguh luar biasa. Fosil ini mempunyai arti yang sangat penting untuk dapat menjawab berbagai permasalahan tentang keberadaan dan evolusi gajah di Indonesia. Bahkan memberikan sumbangsih yang sangat besar dalam studi evolusi, termasuk teka-teki the missing link, interaksi antara manusia purba, Homo erectus dan fauna serta berbagai aspek lingkungan secara keseluruhan.
Bila rekonstruksinya selesai dikerjakan dan dijadikan materi peragaan permanen di Museum Geologi, fosil ini bisa memberi pembelajaran pada anak didik dan masyarakat umum guna mencintai ilmu pengetahuan, memupuk kesadaran dan tanggung jawab untuk dapat melestarikan berbagai fenomena alam dan sumber daya alam di Indonesia yang penting. Selain itu, tentu saja, temuan ini menunjukkan potensi sumber daya alam daerah Blora yang jika dikelola dengan baik akan dapat dikembangkan bagi berbagai aspek pembangunan daerah, misalnya wisata ilmiah.

Erick Setiyabudi dan Iwan Kurniawan, adalah anggota Tim Riset Vertebrata Badan Geologi.
Sinung Baskoro adalah Kepala Museum Geologi.
Atep Kurnia, peneliti literasi pada Pusat Studi Sunda (PSS)

0 Response to "Gajah Raksasa Dari Blora Yang Mendunia"

Posting Komentar